Selasa, 06 Juli 2010

SYARIAH ISLAM DAN SOAL KEBHINEKAAN



Opini penolakan syariah Islam coba terus digencarkan oleh segelintir kelompok sekuler. Dengan dukungan media massa yang sealiran, berbagai cara dilakukan untuk membangun opini ini. Diantaranya dikatakan bahwa syariah Islam akan membahayakan keutuhan bangsa, mengancam persatuan-kesatuan serta kebhinekaan, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 – meski ketika ditanya dimana letak pertentangannya, penggagas anti perda bernuansa syariah Islam di DPR tidak mampu menjawab.
Soal kebhinekaan, menurut kelompok ini, karena Indonesia terdiri dari dari berbagai suku, ras, warna kulit, agama, budaya yang berbeda-beda, maka tidak boleh ada suatu agama mendominasi. Ini berarti sekterian dan diskriminatif serta mengancam kelompok minoritas – yang pada ujungnya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Argumentasi seperti ini bukan baru. Dalam perdebatan tentang Piagam Jakarta misalnya, argumentasi yang sama juga dilontarkan. Konon dengan alasan konon ada ancaman kelompok non Islam dari Timur Indonesia yang akan memisahkan diri dari Indonesia jikalau syariah Islam diterapkan, kalimat „dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya“ pun dihapus.
Basis argumen seperti ini sesungguhnya berasal dari salah satu gagasan utama dari paham kapitalisme yakni ide pluralisme. Kebhinekaan kemudian ditafsirkan dengan kerangka berpikir pluralisme. Diasumsikan masyarakat terdiri dari berbagai macam sub kelompok etnis, ras, warna kulit, kepentingan, dan agama. Karenanya tidak boleh ada aturan dari salah satu sub kelompok ini yang mendominasi sub kelompok lain. Argumen semacam inilah yang digunakan untuk menolak penerapan syariah Islam.
Pertanyaan kritisnya adalah benarkah aturan atau hukum dalam sistem yang bukan Islam sekarang ini benar-benar berasal dari seluruh kelompok masyarakat dan bukan datang dari satu saja sub kelompok masyarakat? Jawabannya, ternyata tidak. Faktanya, hamper seluruh pemikiran, hukum, atau aturan yang ada sekarang ternyata hanya berasal dari satu saja sub kelompok masyarakat. Ide demokrasi, hak asasi manusia (HAM), pluralisme misalnya, pada awalnya berasal dari para filosof orang per orang seperti John Lock, Montesque, JJ. Rossue dan lain-lain. Jadi bukan berasal dari seluruh masyarakat. Hanya saja diklaim merupakan pemikiran bersama.
Indonesia memang terdiri dari berbagai macam sub kelompok akibat perbedaan ras, suku, bangsa dan agama. Disamping juga ada sub kelompok masyarakat akibat perbedaan basis pemikiran dan ideologi. Karenanya, di Indonesia disamping kelompok Islam yang ingin menegakkan syariah Islam, ada juga kelompok sekuler yang menginginkan Indonesia tetap sekuler seraya menentang penerapan syariah Islam. Bila demikian keadaannya, apakah dengan begitu lantas pemikiran, aturan dan hukum yang ada saat ini di Indonesia benar-benar berasal dari seluruh masyarakat? Ternyata tidak.
Karena Indonesia bukanlah negara yang berdasar Islam, maka dengan sendirinya pemikiran, hukum atau aturan yang digunakan tentu berasal dari kelompok bukan Islam atau kelompok sekuler – bukan berasal dari seluruh kelompok masyarakat. Tidak heran kalau sebagian besar aturan Indonesia baik di bidang ekonomi, politik dan hukum pidana yang ada saat ini diambil dari paham sekuler. KUHP yang dipakai hingga sekarang misalnya, ternyata sebagian isinya adalah warisan kolonial Belanda yang sebagian besar diambil dari Code Napoleon. KUHP bahkan tidak berasal dari sub kelompok yang ada di Indonesia.
Disini justru muncul pertanyaan baru: kalau KUHP yang berasal dari Belanda bisa diterima dan tidak pernah dipersoalkan, mengapa gagasan penerapan syariah Islam yang muncul dari kelompok Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini lantas ditolak dengan alasan sekterian dan diskriminatif?
Mungkin muncul bantahan balik dari kalangan kelompok sekuler: ya, benar pada asalnya pemikiran itu mungkin muncul dari sekelompok orang, atau sub kelompok masyarakat tertentu, tapi kemudian disahkan menjadi hukum bersama masyarakat. Kalau begini argumentasinya, maka mustinya sah dan legal juga kalau syariat Islam yang berasal dari aspirasi kelompok mayoritas masyarakat Indonesia ini menjadi hukum di negeri ini bila nantinya disahkan menjadi hukum bersama. Artinya, syariah Islam tidak boleh ditolak begitu saja hanya dengan alasan bahwa itu berasal dari satu sub kelompok masyarakat, karena seluruh pemikiran, hukum, dan aturan yang ada di Indonesia pada awalnya ternyata juga berasal dari pemikiran orang per orang atau kelompok yang kemudian disahkan menjadi aturan bersama negara.
Dengan demikian, berbicara tentang hukum yang lebih substansial bukanlah tentang apakah hukum ini berasal dari satu sub kelompok masyarakat tertentu atau bukan. Yang lebih penting adalah apakah hukum tersebut bisa menyelesaikan persoalan masyarakat secara baik atau tidak.
Syariah Islam, meskipun merupakan aspirasi umat Islam, tapi diyakini pasti akan bisa menyelesaikan persoalan seluruh umat manusia – muslim dan non muslim – karena syariah Islam memang diturunkan Allah SWT untuk mengatur seluruh manusia. Lihat saja beberapa seruan Allah swt di dalam Al Qur'an yang diantaranya diawali dengan yaa ayyuhanas (wahai manusia). Rasulullah saw yang membawa risalah Islam dinyatakan sebagai utusan Allah untuk seluruh umat manusia dan diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam; bukan hanya untuk muslim tapi juga non muslim.
Lihat pula beberapa prinsip aturan Islam berikut ini : (1) Negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (muslim maupun non muslim); (2) Negara menjamin kebutuhan kolektif penting warga negara (muslim maupun non muslim) dengan menyediakan pendidikan dan kesehatan murah atau gratis. (3) Hukum berlaku sama bagi seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim. Siapun yang terbukti mencuri atau membunuh misalnya pasti akan diberikan sanksi oleh negara tanpa melihat muslim atau non muslim. (4) Negara wajib menjamin keamanan seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim.
Beberapa prinsip hukum di atas bukan hanya teori, tapi sudah pernah dipraktekkan secara nyata sejak masa Rasulullah hingga Khalifah Ustmaniyah. Rasulullah saw memberikan jaminan keamanan terhadap ahlul dzimmah (non muslim yang dilindungi oleh negara), dan siapa saja yang menganggunya dianggap juga mengganggu Rasul. Umar bin Khattab ra saat menjadi khalifah, membebaskan seorang Yahudi tua yang tidak sanggup lagi membayar jizyah, bahkan memerintahkan untuk dicukupi kebutuhan hidupnya. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra saat berkuasa pernah dikalahkan oleh hakim saat berperkara di pengadilan melawan seorang yahudi yang didakwa olehnya mencuri baju perangnya karena tidak dapat menghadirkan saksi yang valid.
Maka wajar saja diantara sejarawan Barat yang acap bersikap negatif terhadap Islam, masih ada yang menulis jujur tentang fakta historis ini: bahwa syariah Islam adalah untuk kebaikan seluruh manusia. Will Durant dalam The Story of Civilization menulis: „para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya… Para khalifah juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah lagi tercatat fenomena seperti itu….Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, syam, jazirah Arab, Mesir, bahkan hingga Maroko dan Spanyol“.
Fakta sejarah bahwa warga non muslim bisa hidup aman dan sejahtera di bawah lindungan syariah Islam adalah fakta yang demikian gamblang. Saat pasukan salib Kristen hendak menyerbu khilafah Islam, justru orang-orang Kristen itu ikut membela negara Khilafah. Terdapat bukti tertulis berupa dokumen (Usthmani Fermens) di museum Istambul Turki tentang jaminan terhadap non muslim ini. Ada surat yang merupakan pemberian sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol; surat jaminan perlindungan kepada raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan meminta perlindungan kepada khalifah (7 Agustus 1709).
Jadi tidak benar tuduhan bahwa bila syariah diterapkan akan ada pembunuhan massal terhadap non mulim. Justru sebaliknya, dalam kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariah, non muslim akan dilindungi harta, jiwa dan kehormatannya. Tidak benar pula tuduhan bahwa bila syariah diterapkan akan ada pemaksaan untuk masuk Islam, karena dalam Islam tidak boleh ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam. Tidak benar pula akan terjadi penseragaman tata cara ibadah, makanan, pakaian dan minuman. Sebab berdasarkan syariah Islam, orang-orang non muslim boleh beribadah , berpakaian, makan dan minum berdasarkan keyakinan mereka.
Namun dalam kehidupan publik, jelas ada aturan yang sama untuk seluruh rakyat – muslim maupun non muslim, yakni syariah Islam. Sebagaimana dalam sistem negara sekuler dimana hukum yang ada mengikat seluruh warga, maka syariah Islam pun juga demikian. Perbedaan di tengah masyarakat dalam masalah ibadah (tata cara shalat atau ibadah yang lain) misalnya, akan tetap dibolehkan asal tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah Islam; sebagaimana dibolehkannya perbedaan dalam negara sekuler asal tidak bertentangan dengan hukum sekuler itu sendiri. Fakta di masa lalu dimana wilayah Khilafah Islam yang demikian luas meliputi sebagian wilayah Asia dan Eropa pastilah mengandung berbagai macam perbedaan yang lebih banyak. Dan sekali lagi, itu tidak dilarang asal tidak bertentangan dengan syariat Islam dan aqidah Islam. Tentu saja syariah Islam tidak akan menerima praktik homoseksual, lesbianisme, perjudian, pelacuran, ekonomi ribawi dengan alasan perbedaan dan adanya aspirasi kelompok masyarakat.

Wallahu’alam bi al-shawab

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat