Rabu, 09 Januari 2013

Pertanggungjawaban Penguasa Terhadap Rakyat





Penguasa negeri ini sudah bebal hatinya, tuli matanya dan buta telinganya, ketika rakyat monolak kenaikan harga BBM yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, baik demontransi, aksi, tulisan-tulisan, audiensi ke DPR, DPRD dan berbagai instansi/lembaga, seminar, diskusi, tabligh akbar, melalui surve dan berbagai obrolan lainya di tengah-tengan masyarakat, namun ternyata semunya itu tidak digubris. Melalui rapat paripurna DPR yang berakhir sabtu dini hari (31/3) mengesahkan UU APBN-P 2012 Diantaranya DPR me-mutuskan pasal 7 ayat 6 dengan disertai tambahan ayat 6a.
Keputusan itu di-persepsikan sebagai penolakan atas kenaikan harga BBM. Sesuai ayat 6a itu, harga BBM per 1 April tidak naik dan juga tidak dibatalkan. Tetapi ditunda, bisa saja awal Mei, awal Juni dan seterusnya karena di dalam ayat tambahan 6a menyebutkan : Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.
Penguasa negeri ini memang sudah buta mata hatinya, apakah mereka tidak tahu bahwa semua kebijakan mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, memang seperti inilah penguasa dalam sistem sekular demokrasi. Demokrasi yang mengatakan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat itu bohong besar, faktanya ketika rakyat tidak menginginkan Kenaikan Harga BBM. Pemerintah tidak mengatakan “kawan-kawan rakyat menolak kenaikan BBM, jangan kita naikkan harga BBM nanti bisa menyengsarakan rakyat, inikan Demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat” tetapi pemerintah tidak peduli terhadap suara rakyat, suara rakyat dianggap gonggongan anjing belaka. Memang demokrasi yang merupakan anak dari ideology kapitalisme selalu melahirkan para penguasa yang Zalim.

Penguasa dalam Islam
     Penguasa dalam Islam dipilih untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sekaligus mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, penguasa dipilih untuk berjihad menghadapi negara-negara imperialis yang secara fisik menghalangi perkembangan Islam.
Rasulullah saw. menyandang dua kedudukan tanpa terpisahkan, yakni sebagai nabi dan rasul sekaligus sebagai pemimpin yang mengurusi urusan masyarakat di dunia dengan syariat Allah Swt. yang diwahyukan kepadanya. Adapun penguasa sesudahnya, mulai dari Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. hingga penguasa kaum kaum Muslim kapan pun hanya memiliki satu kedudukan sebagai pihak yang berkewajiban melakukan pengurusan rakyat (ri‘ayah syu’ûn al-ummah). Dengan kata lain, para penguasa pasca wafatnya Rasulullah Muhammad saw. adalah manusia biasa; mereka tidak mendapatkan wahyu dari-Nya. Kesalahan dapat saja terjadi pada mereka. Bahkan, kezaliman bukan mustahil dilakukan oleh mereka. Nabi saw. sendiri pernah menyatakan:
«وَإِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ»
Sesungguhnya Imam itu adalah benteng; tempat orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah yang Mahagagah dan berbuat adil maka ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan selain itu maka tindakannya itu akan menimpanya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena penguasa dalam pandangan Islam tidaklah ma‘shûm, seperti halnya penguasa lainnya, mereka mungkin melakukan kesalahan dalam mengurus urusan masyarakat. Karena itu, kontrol dan koreksi terhadap mereka harus dilakukan, demikian pula pertanggungjawaban mereka terhadap urusan rakyat.

Hubungan Rakyat-Penguasa
Paradigma hubungan antara rakyat dan penguasa dalam Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi, penguasa diangkat oleh rakyat, baik melalui sistem perwakilan atau dipilih langsung. Kekuasaan diserahkan oleh rakyat kepadanya. Tugas penguasa dalam demokrasi adalah melaksanakan kehendak rakyat. Apa yang dikehendaki oleh rakyat, itulah yang harus dilakukan. Hukum pun harus berdasarkan pada suara rakyat. Apakah judi dilarang atau tidak, pornografi itu dibiarkan menjamur ataukah tidak, kekayaan alam milik rakyat diprivatisasi ataukah tidak, dan persoalan apapun harus berdasarkan pada kehendak rakyat. Hukum pun harus berasal dari kehendak rakyat. Hukum yang dibuat oleh mayoritas rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Kongres tetap dianggap sebagai representasi kehendak rakyat; sekalipun sering justru tidak berpihak kepada rakyat. Pada saat pengurusan dan hukum dipandang tidak lagi aspiratif bagi kehendak rakyat, maka rakyat pun berhak untuk menggantinya. Dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih sekaligus menurunkan pemimpinnya. Tolok ukurnya adalah ’kehendak rakyat’. Pergantian pemimpin pun kerap terjadi.
Dalam hal ini, Islam memiliki pandangan berbeda dengan demokrasi. Rasulullah saw. banyak memberikan penjelasan bahwa rakyat dipilih dari rakyat dan oleh rakyat. Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan generasi sesudahnya dipilih sebagai khalifah oleh rakyat, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan. Kekuasaan milik rakyat diserahkan kepadanya. Penguasa dipilih bukan untuk menerapkan kehendak rakyat, melainkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah Swt. memberikan wahyu-Nya yang cocok untuk manusia. Syariah yang diwahyukan itulah yang dijamin memberikan rahmat bagi seluruh manusia. Jadi, kewajiban penguasa yang dipilih rakyat itu adalah menerapkan hukum Islam yang diturunkan oleh Allah Pencipta manusia hingga terwujud kemaslahatan bagi rakyat. Secara i‘tiqâdi, hukum syariah inilah yang pasti mendatang-kan kemaslahatan. Siapa saja yang berpaling dari peringatan dan ajaran Allah tersebut akan mendapatkan kehidupan yang serba sempit (QS Thaha [20]: 124).
Ini tidak berarti yang penting asal hukum syariah ditegakkan, tidak perlu mendengarkan apa kehendak rakyat. Justru, salah satu bentuk hukum syariah adalah penguasa harus mendengarkan kehendak rakyat. Rasulullah saw. pun merupakan pemimpin yang paling banyak mendengar rakyat. Syaratnya, kehendak tersebut benar-benar untuk kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Kemaslahatan hakiki tentu saja hanya bisa diwujudkan ketika hukum Islam ditegakkan. Dengan kata lain, kemaslahatan yang wajib diraih adalah kemaslahatan yang sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt.
Salah satu wujud bahwa kehendak rakyat demi kemaslahatan bersama sangat diperhatikan oleh ajaran Islam adalah tercermin dalam salah satu wewenang Majelis Umat sebagai wakil rakyat. Pendapat mayoritas Majelis Umat dalam tindakan dan aktivitas praktis yang terkait dengan pengurusan urusan rakyat di dalam negeri yang tidak memerlukan kajian pemikiran mendalam—seperti terwujudnya pelayanan bagi rakyat hingga merasakan hidup yang tenang dalam masalah hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, industri, pertanian, pembangunan kota, pemeliharaan keamanan, menjauhkan bahaya musuh, dan sebagainya—adalah bersifat mengikat. Semua pendapat mayoritas anggota Majelis Umat dalam hal tersebut wajib diterapkan oleh Khalifah sebagai penguasa. Berdasarkan kewajiban penguasa menerapkan hukum syariah demi mewujudkan kemaslahatan rakyat, jelaslah bahwa dasar pertanggungjawaban penguasa dalam Islam adalah hukum syariah, bukan semata-mata kehendak rakyat.
Dengan demikian, kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa dan diperuntuk-kan demi mewujudkan kemaslahatan umat berakar pada hukum syariah dan atau kehendak rakyat yang tidak bertentangan dengan hukum syariah. Berdasarkan hal ini, Rasulullah saw. mencontohkan bahwa yang dapat menyebab-kan tercabutnya mandat kekuasaan dari Khalifah bukanlah kehendak rakyat, melainkan pelanggaran Khalifah terhadap hukum syariah. Ketika seorang khalifah menyalahi salah satu hukum syariah maka ia akan diadili oleh Mahkamah Mazhalim, baik atas pengawasan Mahkamah Mazhalim sendiri maupun berdasarkan pengaduan dari Majelis Umat atau masyarakat.
Mahkamah Mazhalim berwenang untuk mengikuti, meneliti, mengevaluasi, dan mengadili berbagai tindak kezaliman penguasa—menyangkut para pejabat, penyimpangan Khalifah terhadap hukum syariah, makna teks dalam perundang-undangan dan UUD, seluruh hukum yang diadopsi/ditetapkan Khalifah, kezaliman terhadap rakyat dalam peraturan yang dikeluarkan yang terkait dengan kemaslahatan rakyat, pembebanan pajak kepada rakyat, dll. Jika ternyata Khalifah sebagai penguasa melakukan pelanggaran terhadap hukum syariah dan meniscayakan pemberhentiannya maka Mahkamah Mazhalimlah yang dapat memutuskan apakah mandat kekuasaan layak dicabut dari Khalifah ataukah tidak. Hukum seperti ini akan menjamin kemaslahatan rakyat dan kontinuitas pemerintahan. Tentu, ini berbeda dengan sistem demokrasi yang sering disibukkan dengan pergantian penguasa tanpa mengubah substansi hukum yang menzalimi rakyat.

Tanggung Jawab Penguasa
Penguasa bertanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat berdasarkan hukum syariah. Kemaslahatan ini wajib dirasakan oleh seluruh warga Muslim maupun non-Muslim, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini. Di antara tanggung jawab penguasa adalah menjamin kebutuhan pokok individual berupa pangan, sandang, dan papan. Tidak boleh ada seorang pun warga negara yang kelaparan atau terkena busung lapar, pakaiannya compang-camping, atau hidup di kolong jembatan. Penguasa harus mempertanggungjawabkan masalah ini. Abai terhadap persoalan tersebut merupakan penyimpangan dari hukum syariah, bahkan merupakan kezaliman terhadap mereka.
Negara bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya agar rakyat dapat berusaha dan bekerja. Adalah suatu kezaliman jika pembukaan lapangan kerja diserahkan penuh kepada pihak swasta. Nabi saw. sebagai kepala negara pernah memberikan kepada seorang warganya uang dua dirham lalu berkata kepadanya, “Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak lalu gunakanlah untuk bekerja.”
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, di daerah strategis antara Makkah dan Syam, dibangun suatu rumah yang diberi nama Dar ad-Daqiq (Rumah Tepung). Di dalamnya tersedia berbagai macam jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Penguasa juga bertanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan kolektif rakyat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rasulullah saw. pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan biayanya diambil dari Baitul Mal. Pernah ada serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang menemui Nabi saw. di Madinah. Mereka menyatakan keimanan dan keislamannya karena Allah. Di sana mereka terserang penyakit. Beliau memerintahkan mereka untuk beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal. Mereka tinggal di sana hingga sembuh. Mereka pun diizinkan minum susu binatang ternak yang ada. Pendidikan pun dibiayai dari Baitul Mal. Keamanan juga dijamin Negara. Keberadaan hukum tentang pencurian, pembegal, pengacau keamanan, dan sebagainya yang terkait dengan masalah publik menunjukkan penguasa bertanggung jawab terhadap penerapannya. Tugas dalam mewujudkan kebutuhan kolektif rakyat pun akan dimintai pertanggungjawaban. Sikap abai penguasa terhadap perkara tersebut merupakan suatu kezaliman terhadap rakyat.
      
Pertanggungjawaban Dua Dimensi
Penguasa dipilih rakyat untuk menerapkan syariat Islam demi terwujudnya kemaslahatan rakyat di dunia dan akhirat. Karena itu, pertanggungjawaban seorang penguasa dalam Islam merupakan pertanggungjawaban dua dimensi, yakni dimensi dunia dan akhirat. Di akhirat, seluruh tindakannya selama memimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh Allah Pencipta alam. Rasulullah saw. bersabda:
«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Penguasa manapun yang sadar akan pertanggungjawaban ini niscaya tidak akan berani melanggar apalagi menentang hukum syariah. Ia tentu berpikir beribu-ribu kali untuk mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan atau menzalimi rakyat. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangis karena khawatir akan masa pertanggungjawaban tentang urusan rakyatnya yang akan ditanyakan Allah Swt. kepadanya di akhirat.
Adapun di dunia, pertanggung-jawaban itu dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama: pelurusan. Pelurusan ini dilakukan dengan cara mengoreksi penguasa, baik dilakukan oleh rakyat secara umum, partai politik, maupun Majelis Umat. Sikap, tindakan, keputusan, dan ketetapan penguasa dikoreksi setiap waktu. Koreksi sebagai aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa diwajibkan oleh Allah Swt. (QS Ali Imran [3]: 104, 110). Aktivitas mengoreksi penguasa tersebut merupakan suatu tindakan kongkret permintaan pertanggungjawaban penguasa sekaligus pelurusannya. Hal ini akan menghasilkan pelurusan terhadap perilaku dan kebijakan penguasa sedemikian rupa hingga penguasa tidak mengabaikan tanggung jawabnya.
Bahkan jika penguasa tidak melaksanakan keputusan Majelis Umat dalam perkara-perkara yang sifatnya mengikat maka Majelis dapat meminta pertemuan dengan Khalifah sebagai kepala negara untuk meminta pertanggung-jawabannya dalam hal tersebut. Jika Khalifah menyadarinya maka peristiwa itu merupakan salah satu bentuk koreksi Majelis Umat terhadap penguasa.
Kedua: pengadilan. Penguasa Islam adalah manusia, bukan malaikat. Penyimpangan terhadap hukum syariah (seperti korupsi, penerapan hukum bukan Islam, dll) atau tindak kezaliman (seperti penggusuran, penjualan aset umum dengan privatisasi, dll) sangat mungkin terjadi. Semua itu diperintahkan Allah Swt. untuk dikoreksi. Jika setelah dikoreksi tetap saja penguasa tidak berubah maka rakyat, partai politik, atau Majelis Umat dapat mengadukan hal tersebut kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah inilah yang akan meneliti dan mengevaluasinya, memintai pertanggung-jawaban penguasa dan mengadilinya, bahkan—jika fakta mengharuskan—memutuskan pergantian khalifah.
Adapun penguasa di bawah Khalifah bertanggung jawab kepada Khalifah. Jika Mayoritas anggota Majelis Umat, misalnya, mengusulkan seorang penguasa daerah untuk diganti, maka Khalifah harus menggantinya.
Walhasil, pertanggungjawaban penguasa dalam Islam terhadap rakyat dilakukan lewat koreksi oleh rakyat, partai politik, dan Majelis umat. Selain itu, pertanggungjawaban berupa pengadilan terhadap penyimpangan terhadap hukum syariah dan kezaliman yang dilakukan penguasa diselenggarakan di depan Mahkamah Mazhalim. Rakyat tidak dapat sembarangan ’memecat’ penguasa. Semuanya harus berjalan di atas rel hukum dan kenyataan. Pertanggungjawaban seorang penguasa tidak terbatas di dunia, melainkan juga sampai akhirat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


 *Disampaikan dalam forum HS oleh Effendy Althafurrizal

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat