Penguasa negeri
ini sudah bebal hatinya, tuli matanya dan buta telinganya, ketika rakyat monolak
kenaikan harga BBM yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, baik demontransi,
aksi, tulisan-tulisan, audiensi ke DPR, DPRD dan berbagai instansi/lembaga,
seminar, diskusi, tabligh akbar, melalui surve dan berbagai obrolan lainya di
tengah-tengan masyarakat, namun ternyata semunya itu tidak digubris. Melalui
rapat paripurna DPR yang berakhir sabtu dini hari (31/3) mengesahkan UU APBN-P
2012 Diantaranya DPR me-mutuskan pasal 7 ayat 6 dengan disertai tambahan ayat
6a.
Keputusan itu
di-persepsikan sebagai penolakan atas kenaikan harga BBM. Sesuai ayat 6a itu,
harga BBM per 1 April tidak naik dan juga tidak dibatalkan. Tetapi ditunda,
bisa saja awal Mei, awal Juni dan seterusnya karena di dalam ayat tambahan 6a
menyebutkan : Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude
Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan
rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak
internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah
berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.
Penguasa negeri
ini memang sudah buta mata hatinya, apakah mereka tidak tahu bahwa semua
kebijakan mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, memang seperti
inilah penguasa dalam sistem sekular demokrasi. Demokrasi yang mengatakan dari
rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat itu bohong besar, faktanya ketika rakyat
tidak menginginkan Kenaikan Harga BBM. Pemerintah tidak mengatakan “kawan-kawan
rakyat menolak kenaikan BBM, jangan kita naikkan harga BBM nanti bisa
menyengsarakan rakyat, inikan Demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat” tetapi
pemerintah tidak peduli terhadap suara rakyat, suara rakyat dianggap gonggongan
anjing belaka. Memang demokrasi yang merupakan anak dari ideology kapitalisme
selalu melahirkan para penguasa yang Zalim.
Penguasa
dalam Islam
Penguasa
dalam Islam dipilih untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sekaligus
mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, penguasa dipilih untuk
berjihad menghadapi negara-negara imperialis yang secara fisik menghalangi
perkembangan Islam.
Rasulullah saw. menyandang dua kedudukan tanpa terpisahkan,
yakni sebagai nabi dan rasul sekaligus sebagai pemimpin yang mengurusi urusan
masyarakat di dunia dengan syariat Allah Swt. yang diwahyukan kepadanya. Adapun
penguasa sesudahnya, mulai dari Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. hingga
penguasa kaum kaum Muslim kapan pun hanya memiliki satu kedudukan sebagai pihak
yang berkewajiban melakukan pengurusan rakyat (ri‘ayah syu’ûn al-ummah).
Dengan kata lain, para penguasa pasca wafatnya Rasulullah Muhammad saw. adalah
manusia biasa; mereka tidak mendapatkan wahyu dari-Nya. Kesalahan dapat saja
terjadi pada mereka. Bahkan, kezaliman bukan mustahil dilakukan oleh mereka. Nabi saw. sendiri pernah menyatakan:
«وَإِنَّمَا
اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ
بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ
فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ»
Sesungguhnya Imam itu adalah benteng; tempat orang
berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Jika ia memerintahkan
ketakwaan kepada Allah yang Mahagagah dan berbuat adil maka ia akan mendapatkan
pahala. Namun, jika ia memerintahkan selain itu maka tindakannya itu akan
menimpanya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena penguasa dalam pandangan Islam
tidaklah ma‘shûm, seperti halnya penguasa lainnya, mereka mungkin
melakukan kesalahan dalam mengurus urusan masyarakat. Karena itu, kontrol dan
koreksi terhadap mereka harus dilakukan, demikian pula pertanggungjawaban mereka
terhadap urusan rakyat.
Hubungan Rakyat-Penguasa
Paradigma hubungan antara rakyat dan
penguasa dalam Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi, penguasa
diangkat oleh rakyat, baik melalui sistem perwakilan atau dipilih langsung.
Kekuasaan diserahkan oleh rakyat kepadanya. Tugas penguasa dalam demokrasi
adalah melaksanakan kehendak rakyat. Apa yang dikehendaki oleh rakyat, itulah
yang harus dilakukan. Hukum pun harus berdasarkan pada suara rakyat. Apakah
judi dilarang atau tidak, pornografi itu dibiarkan menjamur ataukah tidak,
kekayaan alam milik rakyat diprivatisasi ataukah tidak, dan persoalan apapun
harus berdasarkan pada kehendak rakyat. Hukum pun harus berasal dari kehendak
rakyat. Hukum yang dibuat oleh mayoritas rakyat yang ada di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) atau Kongres tetap dianggap sebagai representasi kehendak rakyat;
sekalipun sering justru tidak berpihak kepada rakyat. Pada saat pengurusan dan
hukum dipandang tidak lagi aspiratif bagi kehendak rakyat, maka rakyat pun
berhak untuk menggantinya. Dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih sekaligus
menurunkan pemimpinnya. Tolok ukurnya adalah ’kehendak rakyat’. Pergantian
pemimpin pun kerap terjadi.
Dalam hal ini, Islam memiliki pandangan
berbeda dengan demokrasi. Rasulullah saw. banyak memberikan penjelasan bahwa
rakyat dipilih dari rakyat dan oleh rakyat. Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan generasi sesudahnya dipilih
sebagai khalifah oleh rakyat, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan.
Kekuasaan milik rakyat diserahkan kepadanya. Penguasa dipilih bukan untuk
menerapkan kehendak rakyat, melainkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
rakyat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah Swt. memberikan
wahyu-Nya yang cocok untuk manusia. Syariah yang diwahyukan itulah yang dijamin
memberikan rahmat bagi seluruh manusia. Jadi, kewajiban penguasa yang dipilih
rakyat itu adalah menerapkan hukum Islam yang diturunkan oleh Allah Pencipta
manusia hingga terwujud kemaslahatan bagi rakyat. Secara i‘tiqâdi, hukum
syariah inilah yang pasti mendatang-kan kemaslahatan. Siapa saja yang berpaling
dari peringatan dan ajaran Allah tersebut akan mendapatkan kehidupan yang serba
sempit (QS Thaha [20]: 124).
Ini tidak berarti yang penting asal hukum
syariah ditegakkan, tidak perlu mendengarkan apa kehendak rakyat. Justru, salah
satu bentuk hukum syariah adalah penguasa harus mendengarkan kehendak rakyat.
Rasulullah saw. pun merupakan pemimpin yang paling banyak mendengar rakyat.
Syaratnya, kehendak tersebut benar-benar untuk kemaslahatan rakyat secara
keseluruhan. Kemaslahatan hakiki tentu saja hanya bisa diwujudkan ketika hukum
Islam ditegakkan. Dengan kata lain, kemaslahatan yang wajib diraih adalah
kemaslahatan yang sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt.
Salah satu wujud bahwa kehendak rakyat
demi kemaslahatan bersama sangat diperhatikan oleh ajaran Islam adalah
tercermin dalam salah satu wewenang Majelis Umat sebagai wakil rakyat. Pendapat
mayoritas Majelis Umat dalam tindakan dan aktivitas praktis yang terkait dengan
pengurusan urusan rakyat di dalam negeri yang tidak memerlukan kajian pemikiran
mendalam—seperti terwujudnya pelayanan bagi rakyat hingga merasakan hidup yang
tenang dalam masalah hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, industri,
pertanian, pembangunan kota, pemeliharaan keamanan, menjauhkan bahaya musuh,
dan sebagainya—adalah bersifat mengikat. Semua pendapat mayoritas anggota
Majelis Umat dalam hal tersebut wajib diterapkan oleh Khalifah sebagai
penguasa. Berdasarkan kewajiban penguasa menerapkan hukum syariah demi
mewujudkan kemaslahatan rakyat, jelaslah bahwa dasar pertanggungjawaban
penguasa dalam Islam adalah hukum syariah, bukan semata-mata kehendak rakyat.
Dengan demikian, kekuasaan yang
diberikan oleh rakyat kepada penguasa dan diperuntuk-kan demi mewujudkan
kemaslahatan umat berakar pada hukum syariah dan atau kehendak rakyat yang
tidak bertentangan dengan hukum syariah. Berdasarkan hal ini, Rasulullah saw.
mencontohkan bahwa yang dapat menyebab-kan tercabutnya mandat kekuasaan dari
Khalifah bukanlah kehendak rakyat, melainkan pelanggaran Khalifah terhadap
hukum syariah. Ketika seorang khalifah menyalahi salah satu hukum syariah maka
ia akan diadili oleh Mahkamah Mazhalim, baik atas pengawasan Mahkamah Mazhalim
sendiri maupun berdasarkan pengaduan dari Majelis Umat atau masyarakat.
Mahkamah Mazhalim berwenang untuk
mengikuti, meneliti, mengevaluasi, dan mengadili berbagai tindak kezaliman
penguasa—menyangkut para pejabat, penyimpangan Khalifah terhadap hukum syariah,
makna teks dalam perundang-undangan dan UUD, seluruh hukum yang
diadopsi/ditetapkan Khalifah, kezaliman terhadap rakyat dalam peraturan yang
dikeluarkan yang terkait dengan kemaslahatan rakyat, pembebanan pajak kepada
rakyat, dll. Jika ternyata Khalifah sebagai penguasa melakukan pelanggaran
terhadap hukum syariah dan meniscayakan pemberhentiannya maka Mahkamah
Mazhalimlah yang dapat memutuskan apakah mandat kekuasaan layak dicabut dari
Khalifah ataukah tidak. Hukum seperti ini akan menjamin kemaslahatan rakyat dan
kontinuitas pemerintahan. Tentu, ini berbeda dengan sistem demokrasi yang
sering disibukkan dengan pergantian penguasa tanpa mengubah substansi hukum
yang menzalimi rakyat.
Tanggung Jawab Penguasa
Penguasa bertanggung jawab untuk
mewujudkan kemaslahatan rakyat berdasarkan hukum syariah. Kemaslahatan ini
wajib dirasakan oleh seluruh warga Muslim maupun non-Muslim, tua maupun muda,
laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini. Di
antara tanggung jawab penguasa adalah menjamin kebutuhan pokok individual
berupa pangan, sandang, dan papan. Tidak boleh ada seorang pun warga negara
yang kelaparan atau terkena busung lapar, pakaiannya compang-camping, atau
hidup di kolong jembatan. Penguasa harus mempertanggungjawabkan masalah ini.
Abai terhadap persoalan tersebut merupakan penyimpangan dari hukum syariah,
bahkan merupakan kezaliman terhadap mereka.
Negara bertanggung jawab untuk
menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya agar rakyat dapat berusaha dan
bekerja. Adalah suatu kezaliman jika pembukaan lapangan kerja diserahkan penuh
kepada pihak swasta. Nabi saw. sebagai kepala negara pernah memberikan kepada
seorang warganya uang dua dirham lalu berkata kepadanya, “Makanlah dengan satu
dirham, dan sisanya, belikanlah kapak lalu gunakanlah untuk bekerja.”
Pada masa Khalifah Umar bin
al-Khaththab, di daerah strategis antara Makkah dan Syam, dibangun suatu rumah
yang diberi nama Dar ad-Daqiq (Rumah Tepung). Di dalamnya tersedia
berbagai macam jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya bagi
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Penguasa juga bertanggung jawab atas
terpenuhinya kebutuhan kolektif rakyat berupa pendidikan, kesehatan, dan
keamanan. Rasulullah saw. pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang
sakit dan biayanya diambil dari Baitul Mal. Pernah ada serombongan orang
berjumlah delapan orang dari Urairah datang menemui Nabi saw. di Madinah.
Mereka menyatakan keimanan dan keislamannya karena Allah. Di sana mereka
terserang penyakit. Beliau memerintahkan mereka untuk beristirahat di pos
penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal. Mereka tinggal di sana
hingga sembuh. Mereka pun diizinkan minum susu binatang ternak yang ada.
Pendidikan pun dibiayai dari Baitul Mal. Keamanan juga dijamin Negara. Keberadaan
hukum tentang pencurian, pembegal, pengacau keamanan, dan sebagainya yang
terkait dengan masalah publik menunjukkan penguasa bertanggung jawab terhadap
penerapannya. Tugas dalam mewujudkan kebutuhan kolektif rakyat pun akan
dimintai pertanggungjawaban. Sikap abai penguasa terhadap perkara tersebut
merupakan suatu kezaliman terhadap rakyat.
Pertanggungjawaban Dua Dimensi
Penguasa dipilih rakyat untuk menerapkan
syariat Islam demi terwujudnya kemaslahatan rakyat di dunia dan akhirat. Karena
itu, pertanggungjawaban seorang penguasa dalam Islam merupakan
pertanggungjawaban dua dimensi, yakni dimensi dunia dan akhirat. Di akhirat,
seluruh tindakannya selama memimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh
Allah Pencipta alam. Rasulullah saw. bersabda:
«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan
rakyatnya; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Penguasa manapun yang sadar akan
pertanggungjawaban ini niscaya tidak akan berani melanggar apalagi menentang
hukum syariah. Ia tentu berpikir beribu-ribu kali untuk mengeluarkan kebijakan
yang menyengsarakan atau menzalimi rakyat. Khalifah Umar bin al-Khaththab
pernah menangis karena khawatir akan masa pertanggungjawaban tentang urusan
rakyatnya yang akan ditanyakan Allah Swt. kepadanya di akhirat.
Adapun di dunia, pertanggung-jawaban itu dilakukan dengan dua
pendekatan. Pertama: pelurusan. Pelurusan ini dilakukan dengan cara
mengoreksi penguasa, baik dilakukan oleh rakyat secara umum, partai politik,
maupun Majelis Umat. Sikap, tindakan, keputusan, dan ketetapan penguasa
dikoreksi setiap waktu. Koreksi sebagai aktivitas amar makruf nahi mungkar
terhadap penguasa diwajibkan oleh Allah Swt. (QS Ali Imran [3]: 104, 110).
Aktivitas mengoreksi penguasa tersebut merupakan suatu tindakan kongkret
permintaan pertanggungjawaban penguasa sekaligus pelurusannya. Hal ini akan
menghasilkan pelurusan terhadap perilaku dan kebijakan penguasa sedemikian rupa
hingga penguasa tidak mengabaikan tanggung jawabnya.
Bahkan jika penguasa tidak melaksanakan keputusan Majelis
Umat dalam perkara-perkara yang sifatnya mengikat maka Majelis dapat meminta
pertemuan dengan Khalifah sebagai kepala negara untuk meminta pertanggung-jawabannya
dalam hal tersebut. Jika Khalifah menyadarinya maka peristiwa itu merupakan
salah satu bentuk koreksi Majelis Umat terhadap penguasa.
Kedua: pengadilan. Penguasa Islam adalah
manusia, bukan malaikat. Penyimpangan terhadap hukum syariah (seperti korupsi,
penerapan hukum bukan Islam, dll) atau tindak kezaliman (seperti penggusuran,
penjualan aset umum dengan privatisasi, dll) sangat mungkin terjadi. Semua itu
diperintahkan Allah Swt. untuk dikoreksi. Jika setelah dikoreksi tetap saja
penguasa tidak berubah maka rakyat, partai politik, atau Majelis Umat dapat
mengadukan hal tersebut kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah inilah yang akan
meneliti dan mengevaluasinya, memintai pertanggung-jawaban penguasa dan
mengadilinya, bahkan—jika fakta mengharuskan—memutuskan pergantian khalifah.
Adapun penguasa di bawah Khalifah bertanggung jawab kepada
Khalifah. Jika Mayoritas anggota Majelis Umat, misalnya, mengusulkan seorang
penguasa daerah untuk diganti, maka Khalifah harus menggantinya.
Walhasil, pertanggungjawaban penguasa dalam Islam terhadap
rakyat dilakukan lewat koreksi oleh rakyat, partai politik, dan Majelis umat.
Selain itu, pertanggungjawaban berupa pengadilan terhadap penyimpangan terhadap
hukum syariah dan kezaliman yang dilakukan penguasa diselenggarakan di depan
Mahkamah Mazhalim. Rakyat tidak dapat sembarangan ’memecat’ penguasa. Semuanya
harus berjalan di atas rel hukum dan kenyataan. Pertanggungjawaban seorang
penguasa tidak terbatas di dunia, melainkan juga sampai akhirat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
*Disampaikan dalam forum HS oleh Effendy Althafurrizal
0 komentar:
Posting Komentar