Jumat, 09 Desember 2011

Pandangan Islam Terhadap Kesejahteraan


Setiap manusia pasti menginginkan kesejahteraan bukan kesengsaraan, itulah fitrah manusia yang ingin hidup lebih baik, Islam sebagai agama yang paripurna diturunkan untuk rahmat bagi seluruh alam merupakan keyakinan (akidah) yang melahirkan aturan-aturan kehidupan serta memberikan petunjuk kepada pemeluknya untuk hidup di dunia dengan corak kehidupan yang spesifik dan mencari penghidupan dengan cara tertentu. Islam membuatkan sebuah metode kehidupan yang mendorong dengan kuat seorang Muslim agar mencurahkan segenap potensi yang dimilikinya untuk meraih sebesar-besarnya bagian yang dapat ia raih, yakni berupa kesenangan hidup di dunia, tanpa melanggar syariat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Allah Swt. berfirman:
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (QS al-Qashash[28]: 77)
Islam tidak menganjurkan umatnya untuk hidup minimalis—yang penting bisa untuk makan besok, sedangkan untuk besoknya dipikirkan nanti saja. Sekalipun banyak orang kaya yang lupa kepada Allah, Islam tidak melarang seseorang untuk kaya karena alasan bahwa kekayaan dekat dengan kekufuran. Banyak sahabat yang kaya-raya. Sebut saja Abdurrahman bin Auf, ‘Umar bin al-Khaththab, Abu Bakar, dan yang lainnya. Prinsip hidup, ‘kehidupan besok harus lebih baik dari pada sekarang,’ harus senantiasa terpatri dalam diri seorang Muslim, termasuk dalam hal tercukupinya kebutuhan pokok. Bagaimana bisa tenang dalam beribadah dan berjuang jika waktunya habis memikirkan bagaimana esok bisa makan? Islam telah membentangkan serta menerangi jalan di hadapan manusia agar ia dapat berbuat demi memenuhi kebutuhan pokok (adh-dharuriyat) maupun kebutuhan pelengkap (al-kamâliyyât) sebatas kemampuannya tanpa menjadikannya sebagai tujuan dan melupakan akhirat.
Islam juga mendorong setiap Muslim agar peduli dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam Islam, individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Rasulullah saw. mengibaratkan bahwa umat laksana satu tubuh, setiap individu adalah bagian tak terpisahkan dari umatnya. Umat berbuat untuk menjaga individu dan individu berbuat demi kemaslahatan umat. Rasulullah saw. bersabda:
Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal kasih-sayang, belas-kasihan dan simpati mereka adalah bagaikan satu tubuh; jika salah satu anggota (tubuh)-nya merintih, ia akan memanggil anggota (tubuh) yang lain, (tampak) melalui terjaga dan panas. (HR Muslim dari an-Nu‘man bin Basyir).
Itulah gambaran masyarakat Islam yang hidup dengan satu perasaan, pemikiran, aturan, yaitu Islam, di bawah naungan satu negara sebagai pelaksana yang memiliki wewenang dan kekuatan menerapkan aturan.

Siapa yang Bertanggung Jawab Mewujudkan Kesejahteraan?

1. Individu.
Beban pemenuhan kebutuhan/kese-jahteraan asalnya ada di pundak masing-masing individu. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya, “Tidaklah seseorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR al-Baihaqi).
Bahkan, Rasulullah saw. pernah mencium tangan Sa‘ad bin Mu‘adz r.a., tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangannya, seraya berkata, “Ini adalah dua tangan yang dicintai Allah Swt.”
Dengan demikian, Islam sangat mendorong setiap Muslim untuk senantiasa bekerja sekuat tenaga guna mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, Islam melarang keras setiap Muslim yang hidup santai apalagi bermalas-malasan.
Sementara itu, dalam rumah tangga, pemenuhan kebutuhan adalah kewajiban ayah atau suami. Allah Swt. berfirman:

Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. al-Baqarah [2]: 233)

Dalam ayat tersebut Allah swt. menegaskan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami. Istri tidak wajib mencari nafkah sendiri. Yang menjadi kewajiban istri adalah mengelola atau mengatur penghasilan suami sehingga kesejahteraan keluarga tercapai. Rasulullah saw. bersabda:
Wanita adalah penghulu di rumahnya; wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya. Dia akan diminta pertanggungan jawab tentang pekerjaannya. (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, seorang istri bertanggung jawab atas kesejateraan keluarganya. Dialah yang mengatur dan mengelola pendapatan suami. Seorang istri harus memiliki sifat sabar dan terampil memprioritaskan kebutuhan ketika penghasilan suami kurang besar. Ia juga handai bersyukur atas nikmat Allah, baik besar maupun kecil. Dia tidak kikir, tidak juga boros.
Seorang istri yang shalihah bisa memanfaatkan pendapatan suami sebesar apa pun untuk kesejahteraan suami. Dia pun akan bersikap sabar dan mampu menciptakan suasana tenang dalam kondisi ketika ekonomi keluarganya sedang diuji. Dia juga akan senantiasa mendorong suami terus berusaha demi memperoleh karunia Allah.
Jika kepala keluarga (ayah) tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga, kewajiban jatuh pada kerabat ahli warisnya. Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi taggung jawabnya, sementara ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya.
2. Masyarakat.
Seorang Muslim yang menjadikan akidahnya sebagai landasan dalam setiap perbuatannya akan memiliki pemahaman bahwa Muslim lain adalah saudaranya. Dengan dorongan ruhiah, dia akan tergerak untuk menolong saudaranya. Dia yakin bahwa pertolongan Allah ada selama dia membantu saudaranya. Allah Swt., dalam ayat-ayat al-Quran yang mulia, banyak menyebutkan sifat-sifat seorang Muslim, di antaranya:
Akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang meminta-minta (QS al-Baqarah [2]: 177).
Ayat di atas akan mendorong munculnya kepekaan dan solidaritas di antara sesama Muslim. Seorang Muslim tidak akan rela dan tidak akan berdiam diri ketika melihat saudaranya tertindas atau ditimpa kesulitan. Dalam masyarakat seperti ini, tidak akan ada sikap cuek, mementingkan diri sendiri, atau sikap individualistis.
Dalam masyarakat Islam, kesulitan akan dihadapi bersama sehingga akan terasa ringan. Si miskin disantuni si kaya; yang lemah diangkat oleh yang kuat; yang juga salah akan diingatkan. Pada saat itulah, rahmat dan pertolongan Allah akan diturunkan, sebagaimana telah dibuktikan oleh persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar. Sebaliknya, ketika kaum Muslim tercerai-berai—tidak ada kesatuan, tidak ada kepedulian dan perhatian antarsesamanya—maka bukan rahmat yang didapat, tetapi kehancuran di depan mata.
3. Negara.
Kesejahteraan tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan dua pilar, yaitu individu dan masyarakat. Masih ada pilar ketiga, yaitu negara, karena tidak setiap orang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dari sebagian masyarakat, walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, tetapi Allah belum memberikan kelonggaran rezeki kepada mereka. Mereka masih hidup di bawah standar kehidupan. Kita bisa melihat saudara-saudara kita di sepanjang rel kereta dengan gubuk-gubuk reot penampung belasan orang miskin. Sudahkah mereka bekerja keras? Sudah. Mungkin usahanya melebihi apa yang biasanya kita kerjakan. Namun, mereka belum mendapatkan kelapangan rezeki. Dalam kondisi masyarakat dan individu tidak mampu mencukupi kebutuhannya, negara wajib menanggungnya. Melalui Baitul Mal, negara akan menyantuni orang-orang yang lemah dan butuh.
Harta Baitul Mal yang berasal dari zakat atau di luar zakat bisa dimanfaatkan dalam bantuan tersebut. Bila pemerintah tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap permasalahan ini, kepala negara akan diminta pertanggungjawaban atas tanggungannya. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (kepala negara) adalah seorang pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas (urusan) rakyatnya. (HR al-Bukhari).
Negara bertindak sebagai pemelihara urusan umat/rakyat. Negara harus berbuat sebesar-besarnya untuk mewujudkan kemaslahatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
[]
Oleh : Effendy Althafurrizal/BKLDK Tuban

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat