Selasa, 09 Agustus 2011

Benarkah Akhlak Sebagai Pembangkit Umat?

Ada sebagian kaum Muslim yang memahami, bahwa kebangkitan umat harus dimulai dari kebangkitan akhlak. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap individu memiliki akhlak yang baik maka masyarakat pun akan menjadi baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kebangkitan dan kemunduran akhlaknya.”
Akhlak merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam. Namun demikian, kita tidak boleh memahami, bahwa akhlak yang dimaksud di sini sekadar sebagai nilai-nilai universal, yang terlepas sama sekali dengan konteks hukum syariat. Kejujuran, amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlak yang mulia. Semuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh umat manusia tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. Kaum Kristen, Budha, Yahudi, Konghucu, dan kaum kapitalis pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai itu; bahkan berusaha untuk menerapkannya. Kaum Muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya.
Namun demikian, seorang Muslim tatkala hendak menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal, tetapi karena hal itu diperintahkan oleh Allah Swt. Seorang Muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan oleh Allah Swt., bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal. Dengan kata lain, akhlak seorang Muslim adalah refleksi dari pelaksanaan syariat-Nya. Sebab, seluruh perbuatan seorang Muslim wajib bersandar pada syariat Islam. Di sisi lain, seorang Muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia tidak boleh jujur. Tatkala melakukan jual-beli dengan orang lain, ia harus jujur dan amanah. Sebaliknya, ketika dalam peperangan melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan kaum Muslim.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlak merupakan bagian dari syariat Islam. Menurut pandangan Islam, akhlak bukan sekadar nilai universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, tetapi sifat yang wajib dimiliki seorang Muslim, berdasarkan perintah dari Allah Swt. Dengan kata lain, akhlak adalah syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Bantahan atas pendapat yang menyatakan bahwa kebangkitan umat atau persoalan mendasar umat adalah bagaimana membangkitkan akhlaknya dapat diperinci sebagai berikut:
Pertama, sebenarnya konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variabel penting untuk membangkitkan individu.
Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat dan cara untuk mengubahnya. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, kita mesti memahami terlebih dulu unsur-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.
Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan,dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menghasilkan perubahan masyarakat maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka, tetapi juga tersusun oleh pemikiran, perasaan, dan aturan. Selain itu, faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia sebagai individu, melainkan pemikiran dan aturan yang diterapkan.
Para penganut agama Budha terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun dari orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.
Masyarakat di negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim yang terkenal jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur, disebut masyarakat yang tidak islami jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam tersebut adalah sistem aturan kufur. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol tidak lagi disebut negara Islam, karena sistem yang diberlakukan setelah itu bukan lagi sistem Islam. Ini semua menunjukkan, bahwa perubahan akhlak individu tidak secara otomatis mengubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlak—sebagai nilai-nilai universal—sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Masyarakat Jahiliah sebelum Islam juga menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi—menghargai tamu, perwira, dan sebagainya. Sifat-sifat akhlak ini tidak berubah ketika mereka berubah menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa akhlak tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya pada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan pada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak—sebagai nilai universal—bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, Anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.
Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat pada diri anggota pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Akan tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini tidak memiliki arti sedikitpun dalam timbangan Islam. Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak hanyalah sekadar bagian dari aturan-aturan Allah Swt. yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.
Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam ayat 4 dan asy-Syu’ara ayat 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ketiga, seandainya kita mencermati bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan, bahwa akhlak yang dimiliki oleh kaum Muslim tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum Muslim tetap saja dalam posisi mundur. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan dengan mereka.
Keempat, fakta juga telah menunjukkan bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum Muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik, dan hukum. Ini juga membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan masyarakat. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum Muslim.
Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlak atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum Muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.
Surat al-Qalam ayat 4 dan Hadis Nabi saw. sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada pengertiannya tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak atau bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw. adalah perubahan akhlak. Para mufasir terkenal seperti Mujahid, ad-Dhahak, ath-Thabari, dan al-Qurthubi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata khulq pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekadar “akhlak”, tetapi bermakna “dîn” (agama).

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat