Rabu, 09 Januari 2013

Bualan Kesejahteraan ala Demokrasi


Sebelum terjadi reformasi pada tahun 1998 silam masyarakat Indonesia belum banyak yang mengenal demokrasi seperti sekarang ini, tentunya dengan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa, rakyat berharap perubahan dapat terjadi di Indonesia karena merasa sudah jenuh dengan orde baru yang dianggap diktator meskipun mungkin pada aspek yang lain seperti ekonomi ada yang mengatakan pada masanya pak harto bagus, terlepas dari orde baru dan beralih pada masa reformasi kesejahteraan merupakan harapan rakyat Indoneisa namun ternyata sampi saat ini kesejahteraan hanyalah harapan semu, rakyat masih terpuruk dan tidak sejahtera.
Demokrasi Basi
Demokrasi yang merupakan produk barat pada masa reformasi menjadi sistem yang dianggap ideal untuk Indonesia setelah jenuh dengan pemerintahan ala pak harto yang dianggap diktator, karena Demokrasi mengadepankan pendapat rakyat dengan semboyannya “Dari rakyat, untuk rakyat , dan oleh rakyat” namun kesejahteraan yang manjadi harapan rakyat Indonesia dengan berubahan sistem dari orde baru menjadi orde reformasi ternyata hanya sekedar harapan, pada masa reformasi kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang saja atau lebih tepatnya mereka para kapitalis yang bersekongkol dengan penguasa dan tentu saja rakyat miskin—mayoritas penduduk Indonesia miskin— menjadi korban dan soboya demokrasi pun berubah menjadi “Dari pengusaha, untuk pengusaha dan oleh pengusaha”
Ingin hidup sejahtera merupakan fitrah manusia karena tidak akan ada orang yang ingin hidup susah bahkan orang kafirpun ingin sejahtera. Demokrasi yang dianggap menjanjikan kesejahteraannya kini sudah tercium bau busuknya, demokrasi sudah basi karena Negara yang paling dianggap demokratis yaitu amerika sudah kritis dan sekarat, domokrasi sudah melahirkan banyak kemaksiatan ; Korupsi, Kong-kalikong antara penguasa dengan pengusaha, Kapitalisasi disegala aspek kehidupan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dsb dan tentunya kemaksiatan terbesar adalah mencampakkan hak Allah sebagai pembuat hukum dan diserahkan kepada manusia.

Pandangan Islam Terkait Kesejahteraan

                Islam memandang kesejahteraan itu ada 3 Pilar yang harus bertanggung jawab untuk mewujudkannya, yaitu Pilar individu, masyarakat dan Negara.
1. Individu
Beban pemenuhan kesejahteraan asalnya ada di pundak masing-masing individu. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya, “Tidaklah seseorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR al-Baihaqi).
Bahkan, Rasulullah saw. pernah mencium tangan Sa‘ad bin Mu‘adz r.a., tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangannya, seraya berkata, “Ini adalah dua tangan yang dicintai Allah Swt.”
Dengan demikian, Islam sangat mendorong setiap Muslim untuk senantiasa bekerja sekuat tenaga guna mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, Islam melarang keras setiap Muslim yang hidup santai apalagi bermalas-malasan.
Sementara itu, dalam rumah tangga, pemenuhan kebutuhan adalah kewajiban ayah atau suami. Allah Swt. berfirman:

Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. al-Baqarah [2]: 233)

Dalam ayat tersebut Allah swt. menegaskan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami. Istri tidak wajib mencari nafkah sendiri. Yang menjadi kewajiban istri adalah mengelola atau mengatur penghasilan suami sehingga kesejahteraan keluarga tercapai. Rasulullah saw. bersabda:
Wanita adalah penghulu di rumahnya; wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya. Dia akan diminta pertanggungan jawab tentang pekerjaannya.  (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, seorang istri bertanggung jawab atas kesejateraan keluarganya. Dialah yang  mengatur dan mengelola pendapatan suami. Seorang istri harus memiliki sifat sabar dan terampil memprioritaskan kebutuhan ketika penghasilan suami kurang besar. Ia juga handai bersyukur atas nikmat Allah, baik besar maupun kecil. Dia tidak kikir, tidak juga boros.
Seorang istri yang shalihah bisa memanfaatkan pendapatan suami sebesar apa pun untuk kesejahteraan suami. Dia pun akan bersikap sabar dan mampu menciptakan suasana tenang dalam kondisi ketika ekonomi keluarganya sedang diuji. Dia juga akan senantiasa mendorong suami terus berusaha demi memperoleh karunia Allah.
Jika kepala keluarga (ayah) tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga, kewajiban jatuh pada kerabat ahli warisnya. Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi taggung jawabnya, sementara ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya.

2. Masyarakat
Seorang Muslim yang menjadikan akidahnya sebagai landasan dalam setiap perbuatannya akan memiliki pemahaman bahwa Muslim lain adalah saudaranya. Dengan dorongan ruhiah, dia akan tergerak untuk menolong saudaranya. Dia yakin bahwa pertolongan Allah ada selama dia membantu saudaranya. Allah Swt., dalam ayat-ayat al-Quran yang mulia, banyak menyebutkan sifat-sifat seorang Muslim, di antaranya:
Akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang meminta-minta  (QS al-Baqarah [2]: 177).
Ayat di atas akan mendorong munculnya kepekaan dan solidaritas di antara sesama Muslim. Seorang Muslim tidak akan rela dan tidak akan berdiam diri ketika melihat saudaranya tertindas atau ditimpa kesulitan. Dalam masyarakat seperti ini, tidak akan ada sikap cuek, mementingkan diri sendiri, atau sikap individualistis.
Dalam masyarakat Islam, kesulitan akan dihadapi bersama sehingga akan terasa ringan. Si miskin disantuni si kaya; yang lemah diangkat oleh yang kuat; yang juga salah akan diingatkan. Pada saat itulah, rahmat dan pertolongan Allah akan diturunkan, sebagaimana telah dibuktikan oleh persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar. Sebaliknya, ketika kaum Muslim tercerai-berai—tidak ada kesatuan, tidak ada kepedulian dan perhatian antarsesamanya—maka bukan rahmat yang didapat, tetapi kehancuran di depan mata.

3. Negara
Kesejahteraan tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan dua pilar, yaitu individu dan masyarakat. Masih ada pilar ketiga, yaitu negara, karena tidak setiap orang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dari sebagian masyarakat, walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, tetapi Allah belum memberikan kelonggaran rezeki kepada mereka. Mereka masih hidup di bawah standar kehidupan. Kita bisa melihat saudara-saudara kita di sepanjang rel kereta dengan gubuk-gubuk reot penampung belasan orang miskin. Sudahkah mereka bekerja keras? Sudah. Mungkin usahanya melebihi apa yang biasanya kita kerjakan. Namun, mereka belum mendapatkan kelapangan rezeki. Dalam kondisi masyarakat dan individu tidak mampu mencukupi kebutuhannya, negara wajib menanggungnya. Melalui Baitul Mal, negara akan menyantuni orang-orang yang lemah dan butuh.
Harta Baitul Mal yang berasal dari zakat atau di luar zakat bisa dimanfaatkan dalam bantuan tersebut. Bila pemerintah tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap permasalahan ini, kepala negara akan diminta pertanggungjawaban atas tanggungannya. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (kepala negara) adalah seorang pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas (urusan) rakyatnya. (HR al-Bukhari).
Negara bertindak sebagai pemelihara urusan umat/rakyat. Negara harus berbuat sebesar-besarnya untuk mewujudkan kemaslahatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu. [] Waalaahu A’lam

Oleh : Effendy Althafurrizal





0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat