Sebelum terjadi reformasi
pada tahun 1998 silam masyarakat Indonesia belum banyak yang mengenal demokrasi
seperti sekarang ini, tentunya dengan reformasi yang dipelopori oleh para
mahasiswa, rakyat berharap perubahan dapat terjadi di Indonesia karena merasa
sudah jenuh dengan orde baru yang dianggap diktator meskipun mungkin pada aspek
yang lain seperti ekonomi ada yang mengatakan pada masanya pak harto bagus,
terlepas dari orde baru dan beralih pada masa reformasi kesejahteraan merupakan
harapan rakyat Indoneisa namun ternyata sampi saat ini kesejahteraan hanyalah
harapan semu, rakyat masih terpuruk dan tidak sejahtera.
Demokrasi
Basi
Demokrasi yang merupakan produk barat pada masa reformasi
menjadi sistem yang dianggap ideal untuk Indonesia setelah jenuh dengan
pemerintahan ala pak harto yang dianggap diktator, karena Demokrasi mengadepankan
pendapat rakyat dengan semboyannya “Dari rakyat, untuk rakyat , dan oleh
rakyat” namun kesejahteraan yang manjadi harapan rakyat Indonesia dengan
berubahan sistem dari orde baru menjadi orde reformasi ternyata hanya sekedar
harapan, pada masa reformasi kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang
saja atau lebih tepatnya mereka para kapitalis yang bersekongkol dengan
penguasa dan tentu saja rakyat miskin—mayoritas penduduk Indonesia miskin—
menjadi korban dan soboya demokrasi pun berubah menjadi “Dari pengusaha, untuk
pengusaha dan oleh pengusaha”
Ingin hidup sejahtera merupakan fitrah manusia
karena tidak akan ada orang yang ingin hidup susah bahkan orang kafirpun ingin
sejahtera. Demokrasi yang dianggap menjanjikan kesejahteraannya kini sudah
tercium bau busuknya, demokrasi sudah basi karena Negara yang paling dianggap
demokratis yaitu amerika sudah kritis dan sekarat, domokrasi sudah melahirkan
banyak kemaksiatan ; Korupsi, Kong-kalikong antara penguasa dengan pengusaha,
Kapitalisasi disegala aspek kehidupan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dsb
dan tentunya kemaksiatan terbesar adalah mencampakkan hak Allah sebagai pembuat
hukum dan diserahkan kepada manusia.
Pandangan Islam Terkait Kesejahteraan
Islam memandang kesejahteraan itu ada 3 Pilar yang harus bertanggung
jawab untuk mewujudkannya, yaitu Pilar individu, masyarakat dan Negara.
1. Individu
Beban pemenuhan kesejahteraan asalnya ada di pundak
masing-masing individu. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya, “Tidaklah seseorang di antara kamu makan
suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR
al-Baihaqi).
Bahkan, Rasulullah saw. pernah mencium tangan Sa‘ad
bin Mu‘adz r.a., tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangannya,
seraya berkata, “Ini adalah dua tangan
yang dicintai Allah Swt.”
Dengan demikian, Islam sangat mendorong setiap
Muslim untuk senantiasa bekerja sekuat tenaga guna mencukupi seluruh kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya, Islam melarang keras setiap Muslim yang hidup santai
apalagi bermalas-malasan.
Sementara itu, dalam rumah tangga,
pemenuhan kebutuhan adalah kewajiban ayah atau suami. Allah Swt. berfirman:
Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Dalam ayat tersebut Allah
swt. menegaskan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami. Istri tidak wajib
mencari nafkah sendiri. Yang menjadi kewajiban istri adalah mengelola atau
mengatur penghasilan suami sehingga kesejahteraan keluarga tercapai. Rasulullah saw. bersabda:
Wanita
adalah penghulu di rumahnya; wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya.
Dia akan diminta pertanggungan jawab tentang pekerjaannya. (HR al-Bukhari).
Berdasarkan
hadis tersebut, seorang istri bertanggung jawab atas kesejateraan keluarganya.
Dialah yang mengatur dan mengelola
pendapatan suami. Seorang istri harus memiliki sifat sabar dan terampil
memprioritaskan kebutuhan ketika penghasilan suami kurang besar. Ia juga handai
bersyukur atas nikmat Allah, baik besar maupun kecil. Dia tidak kikir, tidak
juga boros.
Seorang istri yang shalihah
bisa memanfaatkan pendapatan suami sebesar apa pun untuk kesejahteraan suami.
Dia pun akan bersikap sabar dan mampu menciptakan suasana tenang dalam kondisi
ketika ekonomi keluarganya sedang diuji. Dia juga akan senantiasa mendorong
suami terus berusaha demi memperoleh karunia Allah.
Jika kepala keluarga (ayah)
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga, kewajiban jatuh pada
kerabat ahli warisnya. Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada
orang-orang yang menjadi taggung jawabnya, sementara ia berkemampuan untuk itu,
maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi
kewajibannya.
2. Masyarakat
Seorang Muslim yang
menjadikan akidahnya sebagai landasan dalam setiap perbuatannya akan memiliki
pemahaman bahwa Muslim lain adalah saudaranya. Dengan dorongan ruhiah, dia akan
tergerak untuk menolong saudaranya. Dia yakin bahwa pertolongan Allah ada
selama dia membantu saudaranya. Allah Swt., dalam ayat-ayat al-Quran yang
mulia, banyak menyebutkan sifat-sifat seorang Muslim, di antaranya:
Akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman
kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, serta
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang
miskin, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang meminta-minta (QS al-Baqarah [2]: 177).
Ayat di atas akan mendorong
munculnya kepekaan dan solidaritas di antara sesama Muslim. Seorang Muslim
tidak akan rela dan tidak akan berdiam diri ketika melihat saudaranya tertindas
atau ditimpa kesulitan. Dalam masyarakat seperti ini, tidak akan ada sikap cuek,
mementingkan diri sendiri, atau sikap individualistis.
Dalam masyarakat Islam, kesulitan akan dihadapi
bersama sehingga akan terasa ringan. Si miskin disantuni si kaya; yang lemah
diangkat oleh yang kuat; yang juga salah akan diingatkan. Pada saat itulah,
rahmat dan pertolongan Allah akan diturunkan, sebagaimana telah dibuktikan oleh
persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar. Sebaliknya, ketika kaum Muslim
tercerai-berai—tidak ada kesatuan, tidak ada kepedulian dan perhatian
antarsesamanya—maka bukan rahmat yang didapat, tetapi kehancuran di depan mata.
3. Negara
Kesejahteraan tidak akan tercapai jika hanya
mengandalkan dua pilar, yaitu individu dan masyarakat. Masih ada pilar ketiga,
yaitu negara, karena tidak setiap orang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada
dari sebagian masyarakat, walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, tetapi
Allah belum memberikan kelonggaran rezeki kepada mereka. Mereka masih hidup di
bawah standar kehidupan. Kita bisa melihat saudara-saudara kita di sepanjang
rel kereta dengan gubuk-gubuk reot penampung
belasan orang miskin. Sudahkah mereka bekerja keras? Sudah. Mungkin usahanya
melebihi apa yang biasanya kita kerjakan. Namun, mereka belum mendapatkan
kelapangan rezeki. Dalam kondisi masyarakat dan individu tidak mampu mencukupi
kebutuhannya, negara wajib menanggungnya. Melalui Baitul Mal, negara akan
menyantuni orang-orang yang lemah dan butuh.
Harta Baitul Mal yang berasal dari zakat atau di
luar zakat bisa dimanfaatkan dalam bantuan tersebut. Bila pemerintah tidak
memiliki perhatian sama sekali terhadap permasalahan ini, kepala negara akan
diminta pertanggungjawaban atas tanggungannya. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang
imam (kepala negara) adalah seorang pemimpin dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas (urusan) rakyatnya. (HR al-Bukhari).
Negara bertindak sebagai
pemelihara urusan umat/rakyat. Negara harus berbuat sebesar-besarnya untuk
mewujudkan kemaslahatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh setiap individu
yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu. [] Waalaahu A’lam
Oleh : Effendy Althafurrizal
0 komentar:
Posting Komentar