Selasa, 17 Agustus 2010

Syukur Kepada Sang Pencipta

Tataplah mata beningnya. Apa yang kau temukan di sana? Dengarlah celotehannya, apa yang kau rekam darinya? Lihatlah tingkah polanya. Apa yang terlukis disana?
Syukur. Seharusnyalah hanya kata itu yang tepat dan pantas diungkapkan untuk menjelaskan segala rasa yang menggumpal di rongga dada ketika 'cahaya mata' menatap, tersenyum, tertawa bahkan 'berulah' dihadapan saya, umminya.
Bersyukurlah seharusnya karena ternyata sang cahaya mata tercipta dan terlahir sempurna. Tumbuh dan berkembang sempurna. Tengkurap, merangkak, merambat, berdiri, berjalan dan berlari, melompat bahkan rolling dengan sempurna.
Bersyukurlah seharusnya ketika usia delapan bulan bibir mungil itu mulai mengeja "abbah...abbah" memanggil abi, ayahnya. Terharu melihat usahanya mengucap kata demi kata, merangkai kalimat demi kalimat. Hingga kini lancar bicara dan menghafal surah.
Bersyukurlah seharusnya kala jari-jari lentik itu melakukan kerja-kerja motorik halus dan kasar. Merapihkan mainannya yang berantakan, memakai baju sendiri, mengenakan sepatu sendiri, menyuap makanannya sendiri. Mencorat-coret buku dengan tulisannya.
Lucu ketika mendengar alasannya melakukan semua tadi, "Nida kan udah besar". Padahal usianya baru saja tiga tahun.
Tiba-tiba ada rasa malu yang menjalar, ada rasa sesal yang mendalam mengingat reaksi yang saya lakukan ketika sang buah hati membuat ulah. Layar dihadapan saya terbentang lebar-lebar, menayangkan kaleidoskop kehidupan yang saya jalani dengan anak tercinta.
Ketika ia mencorat-coret dinding, bermain air, bermain pasir, mengacak-acak lemari pakaian, melompat-lompat di tempat tidur yang telah rapi tertata. Ada marah yang menggelegak, ada kesal yang terucap, ada wajah-wajah masam. Ada tangis juga. Tangis penyesalan setelah marah kepadanya, marah yang terbalut nafsu.
Lalu dengan tatapan polos dan suara kanak-kanaknya ia berkata "Ummi, marah ya?"
Ya Rabb, apa yang telah saya lakukan?
Kemana teori sabar yang pernah saya kaji bertahun silam? Bahwa ummi adalah madrasatul aulad. Ummi adalah tempat pertama dan utama anak berguru dalam hidup ini. Alangkah mudahnya berkata-kata, alangkah tak ringannya mengamalkan kata-kata.
Saya membayangkan, sekiranya Allah memberikan umur panjang, lalu saya renta, ringkih dan tak berdaya. Masa kanak-kanak saya berulang di usia senja lalu saya berbuat 'ulah', perlakuan apa yang ingin saya dapatkan dari anak saya kelak?
Saya bayangkan sekiranya anak saya marah, kesal, jengkel dan berwajah masam ketika menyuapi saya, ketika membasuh najis saya disebabkan saya telah lemah, tak dapat lagi melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan itu. Sakit hati, bukan?
Anak adalah nikmat sekaligus ujian yang Allah curahkan pada saya. Sungguh tak pantas membalas nikmat dengan maksiat.
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
Maka, seharusnyalah saya hamparkan kesabaran seluas semesta karena saya tengah mendidik calon khalifah. Yang tidak hanya akan mengasuh saya di hari tua kelak tapi juga mengasuh dan memelihara umat manusia untuk taat padaNYA.
Maka, saya tatap mata beningnya. Lalu saya temukan syukur yang tak terkira atas segala nikmatNYA.

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

Terima kasih Atas Kunjungan Anda Semoga Bermanfat